Saturday, March 01, 2008

Kehidupan beragama masyarakat Jepang


10.jpg
Agama adalah topik yang cukup menarik dan digemari di negara kita. Bahasan tentang agama banyak berlangsung di berbagai tempat dengan suasana akrab dan hangat、namun tidak jarang juga berubah menjadi panas bahkan cendrung brutal. Misi agama sebagai penyebar kedamaian dan ketentraman menjadi kehilangan bentuk aslinya bahkan tidak berlebihan kalau dibilang menakutkan dan menghawatirkan. Bagaimana dengan jepang ?

Gambaran Umum

Jepang adalah negara sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat surat resmi lainya tentang identitas penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Dalam sistem pendidikan, mata pelajaran agama, sebagai mata pelajaran tersendiri, seperti sistem pendidikan di Indonesia, tidak dikenal. Agama hanya diajarkan sebagai bagian dari mata pelajaran sejarah, sedang dalam kehidupan masyarakat, agama digolongkan sebagai kegiatan budaya. Kantor agama mentri agama dan juga hari libur agama praktis tidak ada. Tentu saja, bagi orang seperti saya dan juga mungkin anda jelas, sangat membingungkan.

Waktu mempelajari pelajaran sejarah dunia saya diajarkan bahwa mayoritas penduduk Jepang beragama Buddha dan agama asli mereka adalah Shinto. Penjelasan yang tentu saja tidak salah, karena dua tempat ibadah itulah yang paling dominan bisa temukan di sini. Dari data yang dikeluarkan oleh Departmen Pendidikan Jepang tahun 1992 menyebutkan dari sekitar 120 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 106.6 juta, Buddha 95,7 juta, Kristen 1.4 juta lain lain 10,8 juta. Apa yang aneh dari data di atas ? Semua angka itu kalau dijumlah akan melebihi jumlah penduduk Jepang ! Kanapa bisa begitu ? Hal ini disebabkan karena data dikumpulkan dari laporan pengurus kuil yang mencatat semua penduduk di sekitar kuil adalah pengikutnya. Kalau kita mengetahui bahwa, kebanyakan orang jepang merayakan hari kelahiran dan pernikahan di kuil shinto dan upacara kematian dengan upacara Buddha, atau dengan kata lain beragama ganda pasti akan bisa mengerti.
Bingung ? Tentu saja dan mungkin akan lebih bingung lagi kalau anda mengetahui bahwa kebanyakan orang muda jepang melangsungkan pernikahannya di gereja, yang. Apakah mereka adalah pasangan yang beragama Kristen ? Siapa yang peduli !

Shinto dan Buddha adalah dua hal yang tentu saja berbeda, namun bagi orang jepang tidaklah terlalu penting. Apakah isi dan ajaran dari masing masing agama itu bisa dipastikan tidak akan banyak penjelasan yang bisa kita dapatkan dari mereka, bukan karena sifat tertutup atau malas menjelaskan, tapi karena memang mereka benar benar tidak tahu ! Oang Indonesia tampaknya jauh lebih tahu tentang agama Buddha, walaupun mereka tidak memeluk agama tersebut, dari pada orang jepang yang (mengaku) beragama Buddha. Shinto lebih membingungkan lagi, karena tidak ada ajaran apapun yang tampakanya perlu diajarkan.

Dalam hal agama, orang Jepang cendrung bersikap dingin dan tidak peduli. Bagi mereka agama tidaklah cukup atau mungkin juga dianggap tidak akan bisa mengatasi permasalahan sehari hari seperti pelajaran di sekolah atau masalah di tempat kerja. Bahkan ada sebagian kecil pendapat yang mengatakan, agama adalah untuk orang yang mengalami gangguan jiwa ! Weleh, kebanyakan orang kita pasti akan tidak setuju atau marah kalau mendengar pendapat ini. Jadi berarti kebanyakan orang Indonesia adalah orang yang mengidap ganguan jiwa, karena tiap hari berkutat dengan agama ?.. Tenang saja, saya dulu juga kaget dan sedikit marah mendengar pendapat miring tersebut, “So what ?” Kalau orang yang sakit jiwa menjadi sehat setelah diberi agama, tentu tidak ada yang salah bukan ? Persaingan, tekanan hidup yang berlebihan, sakit yang tidak tersembuhkan kemiskinan atau kehilangan tujuan hidup sering menjadikan agama sebagai jawabannya dari sebagian kecil dari mereka. Dalam situasi yang normal, sehat dan wajar, kebanyakan orang jepang tidak memerlukan agama dalam kehidupannya sehari hari.

Agama kadang dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan berbahaya, terutama sejak munculnya kasus gerakan Aum Shinrikyo yang terkenal dengan serangan gas sharinnya. Teror dan perang atas nama agama yang banyak terjadi belahan dunia lain, tampaknya seperti membenarkan pendapat meraka dan membuat kecurigaan mereka agama seakan mendapat tempat.

Kebanyakan orang jepang cendrung menjawab, “Tidak beragama” ketika ditanya tentang yang mereka anut. Jawabanya yang sah sah saja, dan juga tidak akan ada yang mempersalahkan apalagi ditangkap. Sebagian lagi mungkin akan menjawab “tidak tahu” atau bingung, harus menjawab apa. Pertanyaan tentang agama cendrung umum ditanyakan oleh orang asing, tidak bagi sesama orang jepang. Nah, bagi mereka yang tidak biasa atau tidak pernah berkomunikasi dengan orang asing, mendadak ditodong dengan pertanyaan “Agama lo apa ?” terang saja mereka bingung dan menjawab tidak tahu. Walaupun mereka tidak beragama bukan berarti tidak percaya Tuhan, seperti anggapan saya selama ini. Percaya pada Tuhan yang mereka sebut Kami-sama, berdoa di kuil minimal setahun sekali, ketika pergantian tahun baru tampaknya sudah cukup bagi kebanyakan mereka.

Bagi kebanyakan orang jepang, agama adalah suatu kebebasan. Dengan beragama jiwa menjadi bebas. Siapapun bisa datang dengan bebas ke kuil manapun dan kapan saja untuk berdoa seperti yang umum dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Berkunjung ke kuil, bukan untuk berdoa tapi cuma untuk rekreasi atau sekedar ambil foto juga boleh boleh saja, yang bukan hanya dilakukan oleh orang asing tapi kadang oleh orang jepang sendiri. “Tidak boleh masuk, kecuali umat” atau “tidak boleh masuk kecuali untuk sembahyang” hampir tidak dikenal, tapi di beberapa kuil berlaku aturan “Tanpa membayar tidak boleh masuk”, karena selain sebagai tempat sembahyang, kuil juga berfungsi sebagi tempat wisata. Walaupun tujuannya memang benar benar untuk sembahyang, sama saja harus bayar penuh tanpa ada diskriminasi diskount.

Namun walaupun kehidupan beragama mereka berbebas ria, namun dalam tata krama etika sopan santun berprilaku dan berbahasa sangat ketat bahkan bisa dikatakan keterlaluan. Bagi yang pernah mempelajari bahasa jepang pasti tahu, bahwa untuk diri sendiri dipakai kata yang biasa sedangkan untuk orang lain dipakai kata bentuk halus sebagai tanda menghargai atau hormat, jadi satu kalimat dua kata yang berbeda tapi artinya sama. Pilihan kata yang salah atau terbalik dianggap sebagai tidak tahu manner atau tidak sopan, tanpa peduli betapa seringnya anda sembahyang.

Tolerasi kehidupan beragama

Ketika zaman Edo (1603 - 1868) agama Kristen dilarang keras oleh pemrintah Shogun. Pengikutnya dihukum mati atau diusir ke luar Jepang, namun sekarang hal itu tampaknya tidak terjadi lagi. Gereja bisa kita jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil atau jinja. Jadi secara umum, tolerasi kehiduapan beragama bisa dikatakan sangat bagus. Perusakan dan pembakaran tempat ibadah agama lain, yang dahulu sering terjadi hampir tidak kita temukan sekarang ini. Dalam setiap acara pesta atau perayaan, karena saya dari Indonesia, pertanyaan seperti “Apakah bisa makan babi atau minum bir ?” hampir selalu ditanyakan. Beberapa rekan lain bahkan mengatakan ada orang jepang yang mengingatkan kalau arah kiblat sembahyang yang mungkin salah, karena melihat orang lain yang sembahyang ke arah yang berbeda. Memang urusan agama adalah urusan individu yang tidak akan dicampuri oleh pemerintahnya, yang berarti perlakuan khusus, permohonan ruang, waktu atau libur khusus sembahyang bagi yang bekerja misalnya, berarti juga tidak ada.

Komentar Pribadi

Tanpa agama, apakah mereka bisa bahagia ? Apa tujuan hidup mereka ? Bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmaniah ? Bagaimana hubungannya dengan kasus bunuh diri yang banyak terjadi di sana ? Adalah beberapa pertanyaan umum yang sering saya baca di berbagai blog tentang jepang. Pertanyaan yang tampaknya wajar, namun apapun jawabannya tampaknya tetap saja susah untuk kita mengerti, sama halnya dengan orang jepang yang juga susah mengerti “keterikatan” kita yang menurut mereka berlebihan dalam hal agama. Agama adalah ibarat bekerja bagi orang Indonesia, tanpa bekerja kita tidak bisa hidup, sama halnya dengan bekerja adalah agama bagi orang Jepang. Dengan penjelasan seperti mungkin bisa sedikit lebih mudah diterima bagi orang Jepang. Mereka tampak bangga dengan budaya kerja kerasnya dan orang orang yang tersisih karena kehilangan pekerjaan misalnya lebih memilih untuk bunuh diri karena merasa kehilangan harga diri dan mungkin juga pegangan hidup.

Hasil survey yang pernah dilakukan tentang kepercayaan orang jepang terhadap agama, yang saya ambil dari buku Japan Religion and Society Pradigms of Structure and Change, karangan Winston Davis, 1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan, hanya 12 % responden yang menggap kepercayaan agama adalah penting, 44% menganggap tidak penting, orang jepang yang percaya pada Tuhan hanya 38 %, sisanya tidak percaya atau lebih suka dengan menjawab tidak tahu ( terlampir ). Saya pribadi cuma bisa menduga duga , mungkin maksudnya adalah agama tidak penting namun tindakan nyata dengan berprilaku yang baik adalah lebih penting. Tingkat keamanan, ketertiban dan sopan santun mereka mungkin bisa dijadikan indikasi. Sedangkan keengganan mereka menjawab tentang keberadaan Tuhan juga tampaknya dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang berbau agnostik ( atheis ?) karena lebih menekankan ke arah perbaikan prilaku dan pencarian diri dibanding kan dengan pencarian Tuhan. “Apa nama Tuhan dalam agama Buddha ?” tampaknya susah untuk di jawab, sedangkan kepercayaan asli mereka Shinto, mungkin relatif lebih baik, karena setidaknya ada kata “Kami-sama” untuk menunjuk nama Tuhan. Tentu saja, semua itu hanyalah pendapat saya pribadi saja.

Note : Sebetulnya penggunaan istilah Kuil Shinto untuk Jingja juga kurang tepat benar, karena kuil Shinto hanya ada beberapa buah saja, salah satunya adalah Kuil Yakuzuni, yang menghebohkan karena di juga dipakai untuk menghormati tentara yang gugur saat PD II. Namun kebanyakan orang terutama orang asing terlajur mengenal Jinja sebagai kuil Shinto. Kalau perbedaan antara Shinto dan Jinja serta bagaimana Jinja bisa berubah menjadi berkonotasi Shinto dibahas disini, ceritanya akan menjadi semakin panjang dan membingungkan dan mungkin juga membosankan, jadi sebaiknya diakhiri saja.

No comments: